Langsung ke konten utama

Pendeta Yahya Yopie masuk Islam

* From: "David G."
* Date: Mon, 31 Mar 2008 14:30:40 -0700 (PDT)

Warga di kota Tolitoli di penghujung bulan Ramadan 1427 Hijriah belum
lama ini, dihebohkan dengan salah seorang pendeta bersama seluruh
keluarganya memeluk Islam. Di mana-mana santer dibicarakan soal
Pendeta Yahya Yopie Waloni dan keluarganya masuk Islam. Bahkan media
internet pun sudah mengakses kabar ini. Bagaimana aktivitas eks
pendeta itu setelah memeluk Islam. Berikut kisahnya:

PAGI menjelang siang hari itu, nuansa Idul Fitri 1427 Hijriah masih
terasa di Tolitoli. Hari itu baru memasuki hari ke-9 lebaran. Kendati
terik panas matahari masih mengitari Tolitoli dan sekitarnya, tetapi
denyut aktivitas warga tetap seperti biasa.

Begitupun di sekitar Jalan Bangau, Kelurahan Tuweley, Kelurahan Baru,
Kabupaten Tolitoli. Aktivitas sehari-hari warga berjalan seperti
biasa. Kecuali di salah satu rumah kost di jalan itu, pintunya tampak
masih tertutup rapat. Di rumah kost inilah, Yahya Yopie Waloni (36),
bersama istrinya Lusiana (33) dan tiga orang anaknya tinggal
sementara.

"Pak Yahya bersama istrinya baru saja keluar. Sebaiknya bapak tunggu
saja di sini, sebelum banyak orang. Karena kalau pak Yahya ada di sini
banyak sekali tamunya. Nanti bapak sulit ketemu beliau," jelas ibu
Ani, tetangga depan rumah Yahya kepada Radar Sulteng.

Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11
Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa,
Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah
Yahya dengan tulus mengucapkan dua kalimat syahadat.

Setelah memeluk Islam, nama Yahya Yopie Waloni diganti dengan Muhammad
Yahya, dan istrinya Lusiana diganti dengan Mutmainnah. Begitupun
ketiga anaknya. Putri tertuanya Silvana (8 tahun) diganti dengan nama
Nur Hidayah, Sarah (7 tahun) menjadi Siti Sarah, dan putra bungsunya
Zakaria (4 tahun) tetap menggunakan nama itu.

Mohammad Yahya sebelum memeluk Islam, pernah menjabat Ketua Sekolah
Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004. Saat itu juga ia
sebagai pendeta dengan status sebagai pelayan umum dan terdaftar pada
Badan Pengelola Am Sinode GKI di tanah Papua, Wilayah VI Sorong-
Kaimana. Ia menetap di Sorong sejak tahun 1997. Tahun 2004 ia kemudian
pindah ke Balikpapan. Di sana ia menjadi dosen di Universitas
Balikpapan (Uniba) sampai tahun 2006. Yahya menginjakkan kaki di kota
Cengkeh, Tolitoli, tanggal 16 Agustus 2006.

Sambil menunggu kedatangan Yahya, ibu Ani mempersilakan Radar Sulteng
masuk ke rumahnya. Sebagai tetangga, Ibu Ani tahu banyak aktivitas
yang terjadi rumah kontrakan Yahya. "Pak Yahya pindah di sini kira-
kira baru tiga minggu lalu. Sejak pindah, di sini rame terus. Orang-
orang bergantian datang. Ada yang datang dengan keluarganya. Malah ada
yang rombongan dengan truk dan Kijang pickup. Karena rame sekali
terpaksa dibuat sabua (tenda, red) dan drop kursi dari kantor Lurah
Tuweley," cerita ibu Ani.

Hari pertama Yahya pindah di Jalan Bangau itu, orang-orang berdatangan
sambil membawa sumbangan. Ada menyumbang belanga, kompor, kasur,
televisi, Alquran, gorden dan kursi. Mereka bersimpati karena Yahya
sekeluarga saat pindah dari tempat tinggal pertamanya hanya pakaian di
badan. Rumah yang mereka tempati sebelumnya di Tanah Abang, Kelurahan
Panasakan adalah fasilitas yang diperoleh atas bantuan gereja.
Sehingga barang yang bukan miliknya ia tanggalkan semuanya.

Tidak lama menunggu di rumah Ibu Ani, datang dua orang ibu-ibu yang
berpakaian dinas pegawai negeri sipil. Keduanya juga mampir di rumah
Ibu Ani. Salah satu dari mereka adalah Hj Nurdiana, pegawai di
Balitbang Diklat, Pemkab Tolitoli. Ibu berjilbab ini ternyata guru
mengaji. Dia adalah guru mengaji yang khusus membimbing istri Yahya.

"Saya baru tiga kali pertemuan dengan ibu Yahya. Supaya ibu Yahya
mudah memahami huruf hijjaiyah, saya menggunakan metode albarqy.
Alhamdulillah sekarang sedikit sudah bisa," kata Nurdiana.

Menurutnya, dia tidak kesulitan mengajari ibu Yahya. Malah, katanya,
ibu Yahya cepat sekali memahami huruf-huruf hijaiyah yang diajarkan.
Karena itu dia memperkirakan kemungkinan dalam waktu tidak lama ibu
Yahya sudah bisa lancar mengaji.

Hanya sekitar 20 menit menunggu di rumah ibu Ani, bunyi kendaraan
sepeda motor butut milik Yahya terdengar memasuki halaman rumah
kontrakannya. Radar Sulteng diterima dengan senang hati, lalu
dipersilakan duduk di sofa. Sementara Yahya memilih duduk di lantai
alas karpet. Badannya disandarkan ke kursi sofa. "Kita lebih senang
duduk di bawah sini," tuturnya dengan logat kental Manado.

Cara duduk Yahya, tampak tidak tenang. Sesekali ia membuka kedua
selangkangnya. Ternyata karena baru beberapa hari selesai disunat.
"Setelah tiga hari saya masuk Islam, saya langsung minta disunat di
rumah ini," cerita Yahya, sesekali disertai canda.

Penataan interior rumah kost Yahya tampak apik. Di dinding ruang tamu
tampak terpampang kaligrafi ayat kursi yang dibingkai dengan warna
keemasan. Di sisi lain, kaligrafi Allah-Muhammad juga terpampang. Di
meja ruang tamu terdapat dua buah Alquran lengkap terjemahannya. Di
tengah meja itu, juga masih ada tiga toples kue lebaran. "Rumah ini
saya kontrak sementara. Saya sudah bayar Rp2,5 juta," rinci Yahya.

Di tengah asiknya bercerita, istri Yahya, Mutmainnah menyuguhkan
beberapa cangkir teh panas. "Silakan diminum air panasnya," kata ibu
tiga anak ini yang saat itu mengenakan jilbab cokelat.

Tidak lama kemudian, dia masuk di salah satu kamar dan mengajak guru
mengajinya Hj Nurdiana bersama rekannya. Dari balik kamar itulah
terdengar suara Mutmainnah yang sedang mengeja satu per satu huruf
hijaiyah. Terdengar memang masih kaku, tetapi berulang-ulang satu per
satu huruf-huruf Alquran itu dilafalkannya.

Lain halnya dengan suaminya, Yahya. Pria kelahiran Manado ini mengaku
sudah bisa melafalkan beberapa ayat setelah beberapa kali diajarkan
mengaji oleh Komarudin Sofa. Selain Komarudin, selama ini ia juga
mendapat bimbingan dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tolitoli,
Yusuf Yamani. "Hanya lima menit saya diajarkan. Saya langsung paham.
Surat Fatihah saya sudah hafal," ujar Yahya.

Selain belajar mengaji dan menerima tamu, aktivitas Yahya juga kerap
menghadiri undangan di beberapa masjid. Tidak hanya dalam kota, tetapi
sampai ke desa-desa di Kabupaten Tolitoli. "Saya ditemani beberapa
orang. Ada juga dari Departemen Agama," katanya.

Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11
Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa,
sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. "Hari itu
saya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat yang dituntun Pak
Komarudin," cerita Yahya. Apa yang melatari sampai Yahya dan
keluarganya memeluk Islam.


PAK Yahya, begitu sapaan akrabnya. Pria kelahiran Manado tahun 1970
ini lahir dari kalangan terdi*** dan disiplin. Ayahnya seorang
pensiunan tentara. Sekarang menjabat anggota DPRD di salah satu
kabupaten baru di Sulawesi Utara. Sebagai putra bungsu dari tujuh
bersaudara, Yahya saat bujang termasuk salah seorang generasi yang
nakal. "Saya tidak perlu cerita masa lalu saya. Yang pasti saya juga
dulu pernah nakal," tukasnya.

Lantaran kenakalannya itulah mungkin, sehingga beberapa bagian
badannya terdapat bekas tato. Di lengannya terdapat bekas luka setrika
untuk menghilangkan tatonya. "Ini dulu bekas tato. Tapi semua sudah
saya setrika," katanya sambil menunjuk bekas-bekas tatonya itu.

Postur tubuhnya memang tampak mendukung. Tinggi dan tegap. Meski ia
pernah nakal, tetapi pendidikan formalnya sampai ke tingkat doktor. Ia
menyandang gelar doktor teologi jurusan filsafat. Saat ditemui, Yahya
memperlihatkan ijazah asli yang dikeluarkan Institut Theologia
Oikumene Imanuel Manado tertanggal 10 Januari 2004. Sehingga titel
yang didapatnya pun akhirnya lengkap menjadi Dr Yahya Yopie Waloni,
S.TH, M.TH.

Sebelum menyatakan dirinya masuk Islam, beberapa hari sebelumnya Yahya
mengaku sempat bertemu dengan seorang penjual ikan, di rumah lamanya,
kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli. Pertemuannya
dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut. Dan
anehnya lagi, jam pertemuannya dengan si penjual ikan itu, tidak
pernah meleset dari pukul 09.45 Wita.

"Kepada saya si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa
Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Tapi dia baik
sekali dengan saya," cerita Yahya.

Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, Yahya mengaku berdialog
panjang soal Islam. Tapi Yahya mengaku aneh, karena si penjual ikan
yang mengaku tidak lulus Sekolah Dasar (SD) tetapi begitu mahir dalam
menceritakan soal Islam.

Pertemuan ketiga kalinya, lanjut Yahya, si penjual ikan itu sudah
tampak lelah. "Karena saya lihat sudah lelah, saya bilang, buka puasa
saja. Tapi si penjual ikan itu tetap ngotot tidak mau buka puasanya,"
cerita Yahya, yang ditemui di rumah kontrakannya.

Sampai saat ini Yahya mengaku tidak pernah lagi bertemu dengan penjual
ikan itu. Si penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, desa Sandana
(salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli). Meski sudah beberapa
orang yang mencarinya hingga ke Doyan, dengan ciri-ciri yang
dijelaskan Yahya, tapi si penjual ikan itu tetap tidak ditemukan.

Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik
internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana
(sekarang Mutmainnah, red), tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Ia
tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. "Malah saya dianggap
sudah gila," katanya.

Tidak lama setelah itu, kata Yahya, tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriah
atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita. Ia antara sadar
dengan tidak mengaku mimpi bertemu dengan seseorang yang berpakaian
serba putih, duduk di atas kursi. Sementara Yahya di lantai dengan
posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang
berpakaian serba putih itu. "Saya dialog dengan bapak itu. Namanya,
katanya Lailatulkadar," ujar Yahya mengisahkan.

Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia
sendiri tidak pernah melihat tempat itu sebelumnya. Di tempat itulah,
Yahya menengadah ke atas dan melihat ada pintu buka-tutup. Tidak lama
berselang, dua perempuan masuk ke dalam. Perempuan yang pertama masuk,
tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang kedua, tersengat api
panas.

"Setelah saya sadar dari mimpi itu, seluruh badan saya, mulai dari
ujung kaki sampai kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena
malaria. Saya sudah minum obat, tapi tidak ada perubahan. Tetap saja
begitu," cerita Yahya.

Sekitar dua jam dari peristiwa itu, di sebelah kamar, dia mendengar
suara tangisan. Orang itu menangis terus seperti layaknya anak kecil.
Yahya yang masih dalam kondisi panas-dingin, menghampiri suara
tangisan itu. Ternyata, yang menangis itu adalah istrinya, Mutmainnah.

"Saya kaget. Kenapa istri saya tiba-tiba menangis. Saya tanya kenapa
menangis. Dia tidak menjawab, malah langsung memeluk saya," tutur
Yahya.

Ternyata tangisan istri Yahya itu mengandung arti yang luar biasa. Ia
menangis karena mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan
apa yang dimimpikan Mutmainnah. "Tadinya saya sudah hampir cerai
dengan istri, karena dia tetap bertahan pada agama yang ia anut. Tapi
karena mimpi itulah, malah akhirnya istri saya yang mengajak,"
tandasnya.

Masuknya Yahya ke agama Islam, menimbulkan banyak interpretasi.
Menurut Yahya, ada yang menyebut dirinya orang gila. Ada juga yang
meragukannya, dan mungkin masih banyak interpretasi lain lagi tentang
dirinya. "Tapi cukup saja sampai pada interpretasi, jangan lagi
melebar ke yang lain," pungkasnya.***
.

* Prev by Date: Davina Masuk Islam
* Next by Date: Stefanus R Sumangkir masuk Islam
* Previous by thread: Davina Masuk Islam
* Next by thread: Stefanus R Sumangkir masuk Islam
* Index(es):
o Date
o Thread

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Arti Kata Chaos

Seorang anak yang sedang belajar bahasa Inggris hendak menanyakan arti sebuah kata dalam bahasa Indonesia karena kamusnya sedang dipinjam oleh temannya. Kata tersebuat adalah : "Chaos". Anak : "Bu, apa arti kata chaos dalam bahasa Rusia?" Ibu : "Oh... itu tergantung siapa pengarang kamusnya nak." Anak : "Lho kok . . . , apa tiap pengarang berbeda arti bu? (tanya sang anak semakin bingung)" Ibu : "Kalau menurut Pusat Bahasa berarti kacau balau, tapi kalau Pemerintah, itu artinya Aman dan Terkendali nak."

Apa itu HTML

Post kali ini akan sangat teknikal sekali. Dalam beberapa post kedepan, kami berencana mengupas tuntas blogging dari sisi teknologi atau pemrograman . harapan kami, blogger – blogger yang belum memiliki dasar pemahaman pemrograman web dan penasaran bagaimana aplikasi blogging berjalan akan tercerahkan melalui seri post ini. Well, enjoy then Apa itu HTML? HTML = HyperText Markup Language. Bahasa Markup ( berdasarkan id.wikipedia, bahasa markup berarti kombinasi teks dan informasi tambahan mengenai teks tersebut. markup = markah/penanda, atau dalam HTML <tag> yang memberikan fungsi tertentu ) yang digunakan untuk membuat sebuah halaman web. HTML adalah standar yang digunakan untuk sebuah halaman web. HTMl di definisikan dan dikendalikan penggunaannya oleh World Wide Web Consortium (W3C). Itu tadi definisi dari HTML. bisa dijelaskan lebih detil lagi? Hmm… Sederhananya begini. Saya yakin anda semua mengetahui file .doc nya microsoft word. nah, ini ada jenis fi
Mawar Untuk Ibu Seorang pria berhenti di toko bunga untuk memesan seikat karangan bunga yang akan dipaketkan pada alamat sang ibu yang tinggal sejauh 250 km darinya. Begitu keluar dari mobilnya, ia melihat seorang gadis kecil berdiri di trotoar jalan sambil menangis tersedu-sedu. Pria itu menanyainya, “kenapa kau menangis gadis kecil?” dan dijawab oleh gadis kecil, “Saya ingin membeli setangkai bunga mawar merah untuk ibu saya. Tapi saya cuma punya uang lima ratus rupiah saja, sedangkan harga mawar itu seribu rupiah” Pria itu tersenyum dan berkata, “Ayo ikut, aku akan membelikanmu bunga yang kau mau.” Kemudian ia membelikan gadis kecil itu setangkai mawar merah, sekaligus memesankan karangan bunga untuk dikirimkan ke alamat ibunya. Ketika selesai dan hendak pulang, ia menawarkan diri untuk mengantar gadis kecil itu pulang ke rumah. Pria itu berkata, “Bolehkah aku mengantarmu pulang, gadis kecil?” Gadis kecil itu melonjak gembira, katanya, “Ya, tentu saja. Maukah Anda m